Kumandang adzan shubuh baru saja menggema dalam dinginya udara fajar di kota bandung. Cahaya bulanpun masih terlihat samar-samar dari balik kabut tebal yang terbang diatas daun-daun pegunungan. Seorang wanita paruh baya terlihat sedang berdiri di depan sebuah jendela kamar. Tangan kananya menggenggam secangkir kopi hangat yang masih mengepulkan asap. Pandangan matanya memancarkan raut kegelisahan yang sulit untuk digambarkan.
“zahra, kemari!” teriak seorang gadis
“hai rin, maafin aku ya, aku tadi sibuk banget di rumah, jadi telat deh datengnya.”
“iya ra, gak apa-apa kok. Ya udah, kita langsung jalan aja yuk!”ajak rini sambil menarik tangan zahra. Keduanya lalu berjalan menuju deretan mobil yang masih antre menunggu giliran jalan. Seorang gadis menggoyang-goyangkan tutup botol minuman soda yang tersusun rapi tertancap pada seutas kawat dan menciptakan suara gemerincing tak beraturan. Sementara seorang gadis lain bernyanyi parau sambil mengharapkan sebuah koin logam jatuh dalam gelas plastik ditangan kanannya. Mereka berdua berjalan dari satu kendaraan ke kendaraan lainya saat lampu merah menyala dan seketika berlari sempoyongan tatkala lampu berganti warna.
“rin, kita istirahat dulu yuk! Aku capek banget nih”. ajak zahra sambil memegangi perutnya dengan wajah memelas.
“zahra, gak biasanya kamu udah capek jam segini atau jangan-jangan, kamu lagi sakit?” tanya rini kebingungan.
“nggak rin, aku gak sakit kok. Aku puasa hari ini.”
“ya udah kalau gitu, kita istirahat dulu disana yuk!”rini menunjuk sebuah tiang beton besar yang menyangga jalan layang diatasnya. Keduanya lalu duduk bersandar di tiang tersebut sambil menghitung uang yang didapat dari hasil mengamen tadi. Tiba-tiba seorang remaja laki-laki menghampiri mereka.
“wah, tumben baru jam segini kalian udahan. Ada apa nih?”tanya lelaki itu pada zahra dan rini.
“berhubung hari ini zahra puasa, ya kita terpaksa istirahat dulu deh.” Jawab rini
“tumben ra hari ini kamu puasa?”
“iya dim, aku uda pernah janji sama emak kalau aku bakal puasa, yah, walaupun Cuma sehari doank. Lagian ini kan hari terakhir puasa, ya udah deh aku puasa. Ngomong-ngomong, kamu kok sendirian dim, si rambe kemana?”
“si rambe lagi ada di bandung. Dia abis operasi tadi dan berhubung dikejar masa, dia nekad naik kereta bogor. Tapi tenang aja, ntar sore dia juga udah pulang kok.” Ketiganya terdiam sejenak dan suasana menjadi hening. “Eh, rin. Jalan yuk, zahra biarin disini!” ajak lelaki yang bernama dimas itu tiba-tiba.
“ nggak bisa gitu dong dim. Aku juga mesti ikut sama kalian.” Sahut zahra.
“kamu istirahat disini aja ra, biar aku sama rini yang jalan. Ini kan hari terakhir puasa, jadi kita pasti bisa dapet banyak.”
“iya ra, dimas bener, kamu istirahat dulu aja. Biar aku sama dimas yang jalan.”
“ya udah deh kalau itu mau kalian. Aku nunggu disini aja.”
“ok deh kalau gitu, ayo rin kita jalan.” Akhirnya dimas dan rini meninggalkan zahra duduk sendirian di tempat itu.
Udara panas bercampur asap kendaraan mulai terasa menyesakkan dada saat terik matahari perlahan meninggi diatas langit ibukota. Seorang pria setengah baya terlihat berjalan sempoyongan menuju tempat dimana zahra sedang duduk.
“zahra, sedang apa kamu disini?”tanya pria yang memakai baju koko lengkap dengan kopiah yang menutupi sebagian rambut botaknya itu tiba-tiba.
“eh, pak anto. Saya lagi istirahat pak. Bapak sendiri abis ngapain?kok kelihatanya capek banget.?”jawab zahra pelan dan balik bertanya
“oh, begitu. Barusan bapak abis bagiin amplop zakat tuh ke orang-orang. Ya, siapa tahu dapet rezeki.” Kata pria berkumis itu sambil menyulut sebatang rokok dengan korek api.
“zahra, bapak boleh tanya sesuatu sama kamu?”
“iya pak, bapak mau tanya soal apa?”
“kalau bapak boleh tahu, apa tujuan hidup kamu? Apa kamu selamanya ingin jadi seperti ini? Apa kamu gak ingin sekolah seperti anak-anak lainya?”
Tentu saja zahra kaget dengan pertanyaan pak anto yang seperti itu. Ia terdiam sejenak dan sepertinya sedang memikirkan jawaban yang tepat.
“saya..saya tidak tahu pak..saya tidak tahu tujuan hidup saya apa. Saya Cuma berharap kalau besok saya masih bisa makan dan kumpul bareng teman-teman”
“zahra, tujuan hidup itu penting. kebanyakan orang diantara kita menganggap kalau mereka gak akan bisa hidup tanpa uang. Mereka akan sengsara tanpa uang. Tapi satu hal penting yang harus kamu tahu bahwa orang gak akan bisa hidup bahagia kalau mereka tidak punya tujuan hidup.”
“tapi pak, bukanya semua itu sudah takdir dari tuhan. Sebuah takdir dimana mengharuskan kita semua untuk hidup sengsara dijalanan.”
“ya, tuhan memang sudah menentukan takdir kita, tapi ingat, kita sendirilah yang menentukan apakah kita mau hidup bahagia atau sengsara.”pria itu kemudian bangkit saat melihat sebuah bus kopaja mendekat ke arahnya.
“pak. Kalau zahra boleh tahu, tujuan hidup bapak sendiri apa?”
Pria itu tersenyum ”bapak Cuma pengen anak dan istri bapak bahagia.” pria itu langsung bergegas manaiki bus kota yang melintas didepanya dan berlalu meninggalkan zahra.
***
Adzan maghrib baru saja di kumandangkan dari sebuah surau kecil berdinding kayu yang berada disebuah perkampungan kumuh. Lantunan takbir terus menggema tanpa henti. Sementara itu tiga orang remaja baru saja menikmati secangkir es teh dan nasi bungkus di sebuah rumah papan.
“wah, lumayan nih penghasilan hari ini. Bisa bikin kita kenyang kayak gini.”
“iya dim. Makasih ya, kamu udah mau traktir kita-kita. o, ya. Si rambe kok belum balik juga ya.”
“udah, kalian gak usah khawatir, dia sebentar lagi pasti dateng kok, kereta dari bogor kan emang jam segini baru nyampek.”
Canda tawa masih mewarnai suasana malam itu ketika tiba-tiba seseorang datang mengetuk pintu.
“mak tina..bukain pintunya mak!”teriak lelaki itu dari luar rumah.
Mak tina yang tak lain adalah ibunya dimas datang dan langsung bergegas membuka pintu. “pak toni, ada apa?” mak tina bertanya pada lelaki yang terlihat sedang mabuk.
“mana si zahra? Aku mau ajak dia pulang.”
“ia pak, zahra disini.”tiba-tiba zahra keluar dari ruang tengah diikuti oleh kedua temanya.raut ketakutan terihat jelas dari wajah zahra.
“ayo nak, kita pulang. Ada hal penting yang harus kamu lakukan.”
Zahra menuruti kemauan bapaknya dan akhirnya mereka berdua pergi meninggalkan rumah dimas.
Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam. Kumandang takbir tak henti-hentinya terdengar dari berbagai penjuru. Dimas dan rini masih duduk di teras rumah saat seorang pemuda yang membawa bungkusan makanan ditanganya datang kearah mereka.
“dim, gawat..zahra dalam bahaya.!”kata pemuda itu dengan nafas terengah-engah.
“kamu ngomong yang jelas dong ram, ada apa?” tanya dimas penasaran.
“aku tadi ngelihat zahra masuk ke motel di deket stasiun. Dia kayaknya dipaksa dim, kita harus cepet kesana sekarang.”
Tanpa dikomando ketiganya langsung berlari menuju stasiun kereta yang tak jauh dari tempat itu. Motel itu sendiri berjarak sekitar lima puluh meter dari stasiun. Lima menit kemudian mereka telah sampai ketempat tujuan.
“motel itu dim. Zahra dibawa masuk ke motel itu.” Ketiga orang itu berlari menuju motel tersebut. Namun saat hendak masuk, dua orang satpam berbadan besar menghalangi langkah mereka.
“mau apa kalian anak ingusan?”tanya seorang satpam berkumis tebal.
“kami mau menemui teman kami didalam pak. tolong ijinkan kami masuk. Dia sedang dalam bahaya.”rini berkata pada kedua satpam tersebut dengan wajah memelas. Namun Kedua satpam tersebut sama sekali tak menghiraukan permintaan rini.
“sudahlah, kalian tidak boleh masuk. Dan sebaiknya kalian pulang sekarang.”
Namun tanpa diduga dimas yang sudah tidak sabar nekad menerobos masuk. Kedua satpam yang menghalangi mereka terlihat marah dan langsung memukuli dimas. Rambe yang berusaha membantupun ikut dalam perkelahian yang tidak seimbang itu. Entah sudah berapa kali pentungan yang dibawa oleh kedua satpam tadi mendarat diwajah dimas dan rambe. Keduanya akhirnya menyerah dan berjalan dengan susah payah kestasiun kereta.
“rambe, kamu jaga rini disini.”
“kamu mau kemana dim?” tanpa menjawab dimas langsung bergegas lari kearah jalan raya yang masih diterangi bintang-bintang yang berjajar dilangit kota jakarta. Suasana suka cita menyambut hari kemenangan terlihat di seluruh penjuru kota. Namun keceriaan itu seolah tak dirasakan oleh dua orang remaja yang sedang duduk di ruang tunggu stasiun. Rambe dan rini duduk bersebelahan dengan wajah tertunduk memikirkan nasib temanya yang sedang dalam bahaya.
Tiga puluh menit berlalu. Dimas akhirnya datang dengan langkah gontai.
“polisi keparat! Brengsek!”dimas berteriak-teriak sendiri sambil menendang kardus-kardus bekas yang ada didepanya..
“kamu baru lapor polisi dim, gimana hasilnya?”tanya rambe cemas.
“apa peduli polisi-polisi brengsek itu sama kita anak jalanan. Mereka sama sekali tak mendengarkan perkataanku. Justru caci maki yang aku dapat.”dimas berkata pelan sambil menyilangkan kedua tanganya di kakinya. Ia menangis terisak-isak memikirkan apa yang sedang terjadi pada sahabatnya.
“dimas, rambe..lihat..itu zahra,,dia sudah keluar..”rini berkata sambil menunjuk sosok wanita yang berjalan ke arah jalan raya. Tanpa diberi aba-aba ketiga remaja tersebut langsung mengejar sosok yang sudah mereka tunggu.
“zahra!” dimas berusaha untuk memegang tangan zahra.
“lepasin dim, jangan deketin aku, aku sekarang gak pantes jadi temen kalian.”zahra berkata sambil berusaha melepaskan genggaman tangan dimas dan terus berjalan tanpa menghiraukan ketiga temanya itu.
“zahra, dengerin aku, kamu jangan pernah ngomong kayak gitu ya, kita udah sahabatan dari kecil, apa kamu tega ninggalin kita.?”dimas terus mengejar zahra.
“aku tahu dim, tapi aku harus pergi ninggalin kalian, aku udah gak punya siapa-siapa lagi disini, emak udah meninggal dua hari yang lalu dan bapak...bapak aku udah tega ngejual aku. Aku gak mau balik lagi kerumah.”zahra berkata dngan linangan air mata yang terus menetes dari kedua matanya.
Baiklah zahra, aku ikut kamu. Kita semua akan ikut pergi sama sama. Kalian berdua juga mau kan?”perkataan dimas mengejutkan zahra.
“iya ra, kita akan pergi sama-sama.”rini menjawab dengan penuh keyakinan.
Zahra langsung memeluk ketiga temanya. Ia menangis terisak-isak bersama ketiga sahabatnya tersebut.”aku sangat beruntung punya sahabat seperti kalian.”
“ok..kalau begitu besok pagi kita semua pergi kebandung.”kata dimas
“tapi pakai uang siapa dim?”tanya zahra.
“tenang ra, sisa uang hasil operasi tadi masih banyak kok.”rambe berkata sambil tersenyum pada zahra.
***
Cahaya temaram bulan menerangi riuhnya ibukota yang sedang bersuka-cita menyambut hari kemenangan. Di sebuah bukit berumput di belakang stasiun, empat orang remaja tidur terlentang dengan saling menghadapkan kepalanya satu sama lain sehingga membentuk formasi seperti bintang. Dengan di temani ratusan kunang-kunang mereka saling berpegangan tangan satu sama lain.
“bukit ini dan juga kunang-kunang itu akan menjadi saksi persahabatan kita. dalam menghadapi hal apapun, kita harus selalu sama-sama. Hanya waktu yang boleh memisahkan kita.”dimas berkata lantang pada teman-temanya
“aku ingin hidup bahagia bersama orang-orang yang aku sayang! Tuhan..berilah kami jalan menuju kebahagiaan itu dan jangan pernah pisahkan persahabatan kami ini.”kata rini.
“apapun yang terjadi, aku akan tetap jadi sahabat kalian.”teriak rambe keras-keras
“teman-teman, kita masih belum terlambat. Berhubung malam ini malam takbir, pejamkan mata kalian, kita ucapkan takbir sama-sama.” Zahra perlahan memejamkan mata dan diikuti oleh ketiga temanya.
“Allahuakbar, allahuakbar, allahuakbar, lailahaillallahu allahuakbar, allahuakbar wallila illham.”
Lantunan takbir berlalu bersama angin malam yang berhembus dalam naungan cahaya bulan yang tersenyum tanda setia pada malam.
***
wanita paruh baya itu tak kuasa menahan air mata saat ia memendang sebuah foto keluarganya.
“mah, kalila nakal, mainan farid dirusak sama dia.”tangisan seorang anak kecil menyadarkan wanita itu dari lamunanya.
“eh, farid, jangan nangis nak, kita kan udah mau berangkat.”wanita itu berusaha menenangkan anaknya dengan menggendongnya.
“mah, kok dikamar terus sih, keluar dong, udah ditungguin nih.”teriak seorang lelaki dari ruang depan.
“iya pah, bentar lagi keluar kok.”wanita itu keluar dari kamar sambil menggendong anak laki-lakinya yang bernama farid. Wanita itu sangat terkejut saat melihat dua sosok sahabatnya yang sangat ia rindukan ada didepanya.
“rini, ramzi..kalian udah datang rupanya.”zahra langsung memeluk rini seperti dua orang sahabat yang yeng terpisah selama puluhan tahun.
“o..ya, kalila, salaman dulu dong sama tante zahra.”
“wah, dia malu-malu rupanya..mirip kayak ibunya dulu.”perkataan zahra membuat seisi rumaah tertawa.
“ayo semua, kita berangkat sekarang. Sholat id nya udah mau dimulai nih.” Ajak zahra. Kedua keluarga tersebut akhirnya berangkat dari rumah dengan berjalan kaki. Zahra masih menggendong farid yang masih menangis. Sementara rini sibuk mengejar kalila yang terus berlarian mengejar kupu-kupu yang berada di taman bunga disepanjang jala yang mereka lewati.
“pah, mamah masih teringat kejadian sepuluh tahun lalu.”zahra berkata pelan pada suaminya.
“iya mah, tuhan memang maha adil. Berkat kerja keras kita, semuanya bisa berubah.”
“dulu ada yang pernah bilang sama mamah, kalau kita nggak akan bisa hidup tanpa tujuan. Kata-kata itulah yang membuat mamah untuk terus semangat dalam menjalani hidup ini.” Kata zahra sambil memandang sebuah bangunan didepanya.
“dimas, zahra, kita udah sampai ke masjid nih. Ayo kita masuk!” ajak rini pada kedua sahabat karibnya itu. Dengan diiringi oleh lantunan takbir kedua keluarga tersebut akhirnya berjalan memasuki masjid dengan suasana keceriaan menyambut datangnya hari kemenangan.
“allahuakbar, allahuakbar, allahuakbar, laailahaillallahuallahuakbar, allahuakbar walilla illham.”