Setelah semua urusan administrasi selesai, aku segera beranjak keluar dari toko bunga, biasanya, sore nanti bunga-bunga tersebut sudah sampai kerumah sederhana ibuku. Dan saat itu pulalah aku akan segera meneleponya dan memberitahu bahwa anaknya ini masih selalu ingat denganya.
“kakak, arum ingin beli bunga mawar itu buat emak. Tapi arum gak punya uang.” Tiba-tiba Suara seorang gadis kecil yang berpakaian lusuh dan kotor mengagetkanku.
“adek. Adek arum mau bunga mawar ini, baiklah, kakak beliin satu ya buat adek.” Senang sekali rasanya melihat gadis kecil ini tersenyum bahagia saat menerima pemberian dariku.
“kakak cantik, kakak mau gak anter arum ketemu emak.” Pinta gadis kecil itu sekali lagi. Aku tak sampai hati jika harus menolak permintaanya.
“tentu saja arum yang baik. Kakak mau kok anter arum ketemu emak.”
Jadilah aku mengantar gadis kecil ini kesebuah tempat yang sama sekali tak terlintas dibenakku. TPU Kaliadem. Ya, tak salah memang. Itu adalah sebuah tempat pemakaman umum. Arum berjalan didepan, melewati satu persatu makam tua. Aku melihatnya berjalan keujung kompleks pemakaman. Kuikuti langkah kecilnya. Aku sama sekali tak menyangka jika ia akan mengajakku kemari dan sungguh, ia telah membuatku sangat terenyuh tatkala gadis kecil itu menghampiri sebuah makam. Makam yang masih basah. Ya, mungkin makam itu baru dibuat dua atau tiga hari yang lalu. Ia meletakkan bunga mawar pemberianku tepat diatas gundukan tanah makam ibunya. Aku seperti tak tahu apa yang harus kulakukan. Perasaan aneh seolah telah menerpa hatiku. Kudekati ia perlahan. Kutatap wajah polos gadis kecil itu.
“dewi, apakah ini makam ibumu?” tanyaku pelan.
“iya kak, ini makam emak,” jawabnya singkat.
“Kalau kakak boleh tahu, ibumu meninggal karena apa?”
“emak..emak meninggal karena arum kak. Arum yang salah, kalau saja waktu itu arum tak terlambat membelikan obat untuk emak. Pasti sekarang emak masih hidup,”
“arum, arum jangan sedih ya. Arum gak salah kok. Emak meninggal karena memang sudah waktunya. Ini mugkin sudah takdir Allah nak,” kataku coba menghibur.
Aku sangat takjub melihat anak kecil ini. bagaimana mungkin anak berusia 12 tahun masih bisa terlihat tegar meski sedang meratapi makam ibunya. Bahkan kini, ia sudah menjadi yatim piatu dan tinggal bersama sang paman yang menjadi pemulung di sebuah perkampungan kumuh di pinggiran kota jogja.
“emak..arum minta maaf sama emak. Arum belum bisa bahagiain emak, padahal emak selalu baik sama arum. Emak selalu menjaga arum dengan penuh kesabaran dan perhatian. Emak juga selalu membuat arum tersenyum bahagia, seandainya emak masih ada, Arum ingin memeberikan bunga mawar ini untuk emak.”
Bagaikan terkoyak ombak laut. Aku tak tahu sejak kapan wajah ibuku selalu tergambar jelas dipikiranku. Perasaan aneh terus mengerubungi hatiku. Hingga akhirnya, cepat-cepat kuhidupkan mesin vespa bututku, kutinggalkan arum yang masih terduduk disamping makam ibunya. Aku pergi ketempat kostku, mengambil barang seperlunya. Setelah semua siap. aku menuju ke stasiun kereta api dengan menggunakan angkutan umum. Aku telah memutuskan untuk pulang kesukabumi menemui ibuku.
Kereta jurusan jogja-bandung berjalan cepat melewati pematang sawah. Sementara itu, perasaan aneh terus berkecamuk dihatiku. Terlebih lagi saat kuingat arum, gadis kecil yang baru saja kutemui. Ia telah menyadarkanku akan betapa pentingnya arti seorang ibu. Kini aku sangat mengkhawatirkan ibuku. apalagi sudah seminggu ini, kakak tertuaku yang merawat ibuku mengabariku bahwa ibu sedang sakit. Dan aku, aku sama sekali tak pernah sempat untuk menemuinya, aku selalu sibuk dengan urusanku sendiri, tanpa peduli pada apa yang sean terjadi pada ibuku. Perasaan bersalah seolah tak berhenti mangganggu batinku.
***
“stop!stop! sudahlah bu, nadia turun disini saja.”
“tapi nadia, pintu gerbang sekolahmu kan masih jauh, kenapa mesti berhenti disini..apa kamu malu dianter sama ibu.”
“ya enggak lah bu, nadia kan tinggal jalan kaki sebentar. Sekarang ibu pulang aja ya, nanti jemput nadianya disini aja.
“baiklah kalau itu maumu.”
***
“ibu, nadia pulang...”
“eh, sayang kok sampai malem gini pulangnya..Kamu kemana aja?”
“udah deh, ibu cerewet banget sih, nadia mau lansung tidur.”
“tapi nak, ibu sudah masak yang banyak untukmu. Hari ini kan hari kelulusanmu”
“makananya ibu aja yang makan, tadi nadia udah makan bareng temen-temen.”
“Tunggu nad, buka dulu pintunya. Ibu mau bicara sebentar denganmu.”
“ah, ibu..nadia tuh capek, besok aja ya ngobrolnya…”
***
Suara petugas stasiun menyuruh para penumpang untuk turun menyadarkanku dari lamunan. kereta yang kutumpangi akhirnya sampai juga distasiun bandung. Aku harus melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkutan umum. Mungkin aku baru tiba dirumah menjelang maghrib.
Tepat pukul 5 sore. Saat-saat yang telah kunantikan akhirnya datang. Rasanya sudah tak sabar untuk bertemu ibu dan keluargaku. Melihat wajah-wajah mereka tersenyum menyambutku. Kulangkahkan kaki ini perlahan, menyusuri jalan setapak menuju rumah kecilku yang sederhana. Nah, itu dia. Genting rumaku sudah terlihat. Semakin dekat dan, “assalamualaikum..ibu, kak lilis..nadia dateng nih..” setelah beberapa saat, tak kunjung ada jawaban dari dalam rumah. Kuketuk pintu perlahan, pelan, dan semakin keras. Namun lagi-lagi tak ada jawaban dari dalam rumah yang kudengar. Ah, apa mungkin mereka sedang keluar rumah. Mereka pasti tak tahu aku datang karena aku tak memberitahu mereka sebelumnya.
“eh, eneng..ini kunci rumahnya neng..tadi si lilis nitip kuncinya sama mamang,” suara seorang tetangga rumah mengagetkanku.
“memangnya ibu sama teh lilis kemana mang?” tanyaku.
“loh, apa neng nadia gak tau, ibu kan masuk rumah sakit. Ya kira-kira dua jam yang lalu. Tapi kok eneng malah disini.”
Inallilahiwaina illaihiroji’un. Mendengar kabar tersebut. Hatiku terasa perih bagaikan tersayat belati. Ya tuhan, apa yang telah terjadi. Air mataku menetes tak tertahan tatkala kulihat seikat bunga dan foto-foto di meja saat aku membuka rumahku. Teh lilis mungkin sudah berulangkali menghubungiku, hanya saja HandPhoneku sedari tadi mati. Tak pikir panjang, kupaksa mang heri tetanggaku untuk mengantarku kerumah sakit. Tak lupa kubawa setangkai mawar merah untuk kuberikan pada ibu disana. Aku yakin, ibu masih bisa tersenyum saat melihatku nanti.
Dua puluh menit berselang, kami akhirnya sampai dirumah sakit. Aku ditemani mang heri segera menuju ruangan dimana ibu sedang dirawat. Ruang melati kelas III. Ah, tak seorangpun ada diruangan ini.
“neng nadia, ibu ternyata sudah dipindah keruang operasi,” teriak mang heri.
“astaghfirullahaladzim, yang bener mang.”
“iya neng, baru saja istri mamang yang juga nemenin ibu sms mamang.”
Kami berdua segera berlari keruang operasi. Kekhawatiran yang luar biasa terus menjangkiti pikiranku. Sungguh aku tak ingin terjadi sesuatu pada ibuku. Kulihat wajah teh lilis dari kejauhan, ia terduduk lesu diruang tunggu ditemani oleh istri mang heri.
“teh lilis..apa yang terjadi pada ibu?” kupeluk tubuh kakakku dengan erat.
“nadia, kemana saja kamu. Ibu sangat merindukanmu. Kata dokter, ibu, ibu mengidap tumor otak, ibu baru saja dioperasi. Sekarang, ibu sedang dalam keadaan koma.”
Kata-kata yang keluar dari mulut teh lilis seolah merobohkan langit yang telah menghitam keatas kepalaku. Membuat dinding-dinding menghimpit tubuhku. Pikiranku mengambang tak tentu arah, air mata membasahi kedua sisi pipiku. Menetes pada lembar-lembar mawar yang mulai layu. Nadia, anak macam apa kau ini, hanya bisa membuat susah ibumu. Kemana saja kau selama ini. Hidup dengan duniamu sendiri. Perasaan bersalah terus terpikirkan olehku.
Aku berdiri melihat wajah ibu dari balik kaca ruangan. Kulihat wajah pucatnya yang diam tak berdaya. Ya Tuhan..selamatkanlah ibuku, jaga dan lindungi ia sebagaimana ia menjaga dan melindungiku ya Tuhan. Aku berjanji, akan selalu membahagiakanya jika Kau masih memberikannya kesempatan untuk hidup. Jikapun tidak, kumohon, bahagiakanlah ia di taman surgamu. Berikanlah ia rahmat dan ampunanmu. Semua kasih dan sayangnya, kan selalu kuingat sepanjang hidupku.
***