“Anggur merah, yang selalu memabukkan diriku kuanggap belum seberapa..Dahsyatnya.” Nyanyian parau melengking dari mulut seorang wanita paruh baya. Seorang badut bergoyang mengikuti irama lagu yang dinyanyikan oleh wanita tersebut. Terik matahari siang yang datang serta merta menghitamkan kulit-kulit tak menghentikkan usaha badut kecil dan ibunya ini untuk mengumpulkan koin-koin receh dari keramaian ibukota. Mulai dari pasar, stasiun, terminal hingga bis kota menjadi lahan pencarian nafkah bagi mereka.
“ kau hebat Al, kita bisa makan enak hari ini. sudah. lepas saja penutup kepalamu itu biar gak panas,” seorang wanita berkata pada seorang anak yang berpakaian badut mirip salah satu tokoh teletabies.
“emak, Al, laper nih, kapan kita makan?” keluh anak tersebut.
“nah, kebetulan, ini emak udah beli nasi bungkus buat kita berdua,” jawab sang ibu.
Disebuah kolong jembatan keduanya duduk bersandar pada tiang-tiang beton yang kusam terkena asap knalpot kendaraan. Mengisi perut-perut kurus mereka dengan melahap dua buah nasi bungkus yang masing-masing berisikan ayam bakar.
“ Emak, sampai kapan kita kaya gini terus?” tanya sang anak tiba-tiba. Mndengar pertanyaan tersebut, emak nampak terkejut.
“mm..ya sampai kita jadi orang kaya Al,” jawab emak sekenanya.
“emangnya nyopet bisa bikin kita kaya ya mak?”
“ya bisa, buktinya. Pejabat-pejabat kita banyak yang kaya dengan nyopet uang rakyatnya.”
“tapi, gimana cara mereka nyopet mak? Apa sama kaya kita?”
“ya nggak lah Al, mereka itu ngambil uang negara, uang kita, dengan cara korupsi.”
“tapi mak, kenapa kita gak kerja yang lain aja sih? Cari kerja yang halal gitu.”
“aduh Alfi anakku, selama ini kita kerja yang haram aja susahnya minta ampun. Gimana mau kerja yang halal, mau makan apa kita nanti? Batu, nasi aking atau tiwul? Yang ada kita malah bisa keracunan nanti.”
Al hanya mengangguk mendengar apa yang dikatakan oleh emaknya itu, meski galak, Al sangat menyayangi emaknya. Setelah ditinggal pergi ayahnya saat ia masih kecil. Emak adalah satu-satunya orang yang ia punya saat ini.
“eh, mak liat tuh mereka. Kenapa kita gak kerja kaya mereka aja?” kata Al tiba-tiba.
“jadi pengemis maksudmu?”
“iya, itu kan pekerjaan halal mak.”
“eh Al, sejak kapan pemerintah bedain pekerjaan orang-orang kaya kita ini. Mau dia pencopet kek, pengamen kek, pengemis, kalau ada razia. Halal atau haram sama-sama ditangkap kan sama petugas.”
“kenapa bisa begitu mak?”
“ya karena kita Cuma dianggap sampah sama mereka. Bukan manusia yang layak dihormati dan dihargai.”
“tapi kan kita punya wakil rakyat mak?”
“aduh Al, sudahlah kau ini kan masih kecil, ngerti apa soal wakil rakyat. Kerjaan mereka itu Cuma ngerampas uang rakyatnya.”
“loh, berarti mereka sama kaya kita donk mak, tapi kenapa mereka gak dikejar-kejar sama polisi?”
“ya itulah hebatnya negaramu ini. Para koruptor bisa duduk santai menikmati uang kita dirumah mewahnya. La kita, duduk di sofa aja gak pernah. Udah gitu, mesti kucing-kucingan lagi sama kamtib.”
“kalau begitu, Al pengen jadi koruptor aja kalau udah besar nanti.”
Emak memeluk Al seraya mengelus rambut kumal anak semata wayangnya itu. Ia hanya bisa tersenyum mendengar perkataan polos anaknya. Emak sayang sekali pada Al, terlebih setelah suaminya meninggalkan mereka tujuh tahun lalu tanpa alasan yang jelas. Hingga kini, saat Al menginjak umur 12 tahun, mereka berdua harus hidup dalam kemiskinan ditengah kejamnya ibukota
Jarum jam tepat menunjuk angka 4. Menandai bahwa hari sudah mulai senja. Jalanan ibukotapun macet karena disaat-saat seprti inilah orang-orang mulai pulang bekerja.
“Al, Alfi..cepat kemari nak, ayo kita berangkat.” Suara emak mengagetkan alfi yang sedang asyik bermain bersama teman sebayanya disekitar kolong jembatan.
“iya mak..!” jawab alfi sambil berlari.
“cepat pakai ini.” Emak menyodorkan satu stel kostum teletabies warna merah yang biasa dipakai Alfi. Setelah semua siap. Mereka bergandengan tangan berjalan menuju deretan warung makan yang memang baru mulai berjualan saat sore hari.
“Al, lihat bapak-bapak yang ada di warung itu. Mereka sepertinya baru pulang kerja. Kamu ambil dompet bapak yang pakai baju kuning itu ya.”
“tapi mak, Al, takut. Di warung itu ada polisi yang lagi makan.”
“ah, gak usah takut. Kamu lakuin kaya biasanya aja, pasti gak bakal ketahuan.”
“iya mak.”
Setelah beberapa saat, keduanya mulai memasuki warung tenda yang menjual berbagai aneka masakan padang. Seperti biasa, bermodalkan kecrekan, emak mulai mendendangkan lagu Meggy Z favoritnya. Setelah berjoget beberapa saat, Al mulai meminta koin receh pada pada para kuli bangunan yang baru pulang bekerja itu. Disaat itu pulalah Al mulai beraksi. Gerak-geriknya seperti seorang pencopet professional. Mengambil dompet kulit dari salah seorang pekerja dengan sangat lihai. Ia segera memasukan dompet tersebut ke kantong bulu yang ada dibagian depan kantong badutnya itu. Setelah semua selesai. Emak dan Al segera meninggalkan tempat tersebut dan berjalan santai seolah tak melakukan apapun.
“copeet.!!” Baru sekitar 20 meter berjalan. Korban berteriak sambil menunjuk emak dan al yang langsung berlari memasuki kompleks pasar.
“copet..badut itu pencopet.!” Mendengar teriakkan tersebut, para warga dan juga seorang polisi yang juga berada di warung tersebut segera berlari mengejar emak dan Al.
“Duarr” tembakkan peringatan yang dilepaskan oleh polisi tak dihiraukan oleh keduanya. Emak dan Al terus berlari menuju tempat penjualan buah yang sudah sepi. Sementara itu. Puluhan orang bersenjatakan pentungan tak hentinya mengejar mereka. Mendadak emak mengajak Al berhenti disamping sebuah kios. Emak nampak meringis kesakitan.
“Emak..emak kenapa? Kaki emak berdarah.” Tanya Alfi panik.
“Al, Cepat kau lari. emak sudah gak kuat lagi. Kaki emak tertembak polisi.” Suara emak mulai lirih dan parau.
“Al nggak mau pergi kalau nggak ada emak. Al nggak mau ninggalin emak disini. Biarin kita sama-sama ketangkap.”
“Al sayang. Orang-orang sudah semakin dekat. Pergilah nak, cari ayahmu. Cepat pergi.” Emak mendorong anaknya tersebut hingga terjatuh.
“emak..”
“lari al..,lari!!” Al berlari sekuat tenaga menuju bagian belakang kompleks pasar.
“lari Al, jangan berhenti,” emak terus berteriak meski ia sudah tertangkap dan dihakimi oleh warga.
“Ayo kejar anak itu.!” Sebagian warga lain lengkap dengan balok kayu ditanga berlari mengejar Al yang kini sendirian. Ia harus segera mencari tempat persembunyian. Tak sengaja ia memasuki sebuah gudang besar berisi peti kayu bekas tempat menyimpan barang dagangan. Dengan hati-hati Al menyelinap masuk kesebuah peti yang letaknya cukup tersembunyi.
“kurang ajar! Hilang kemana anak itu.” Seorang pria besar berdiri didepan pintu gudang.
“Anak itu pasti masih ada disekitar sini.” Kata salah seorang temanya.
“hei, ayo masuk kesini. Cari keseluruh ruangan. Kalau perlu, bongkar peti-peti itu. Anak keparat itu gak boleh lolos.”
Enam pria berbadan kekar segera memasuki gudang dan segera menggeledah satu persatu peti yang ada. Sementara itu, keringat dingin mengucur membanjiri seluruh tubuh Al. Ia panik bukan kepalang dan sebisa mungkin tak menghasilkan suara sedikitpun.
“krakk” Al mendengar sesuatu menindih peti tempatnya bersembunyi. Tubuhnya mulai terasa membeku. Ia berpikir bahwa Mustahil orang-orang itu tak menggeledah peti ini.
“pak polisi, semua peti sudah kami bongkar. Anak itu tak ada disini.” Seorang pria berteriak pda rekanya yang sepertinya adalah seorang polisi.
“apa kau yakin telah memeriksa semuanya?’
“ia pak, aku telah memeriksa semuanya. Kecuali.”
“kecuali apa?”
“kecuali peti yang sedang kuinjak ini......”
***
